Tuesday, May 01, 2007

PUNCLUT DAN KESELAMATAN KOTA BANDUNG

Bujet Edisi 03/III/April-Mei 2005
BIGS – Bandung Institute of Governance Studies

Foto: Sobirin, 2004

Wawancara ini merupakan imajiner. Biasanya si penulis yang jadi pewawancara, kini sang penulis, Sobirin, Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) yang menjawab semua pertanyaan. Intinya pandangan dia soal carut marut persoalan pembangunan di Punclut.

Polemik, kontroversi, konflik, pro dan kontra tentang penataan kawasan Punclut yg terletak di bagian utara kota Bandung telah demikian berkepanjangan, bagaimana komentar anda?
Masalahnya bukan mana yang pro dan mana yang kontra, tetapi masalah mana yang benar dan mana yang salah. Yang bagus belum tentu benar, tapi yang benar pasti bagus dan akan bermanfaat untuk semua warga secara berkelanjutan. Beda pendapat tentang penataan kawasan Punclut telah merembet ke dimensi ekonomi, sosial, budaya dan politik. Para ahli, pakar dan akademisi juga ikut memberikan argumen-argumen hasil penelitian mereka, ada yang pro ada yang kontra, ada yang menyebutkan kawasan Punclut merupakan kawasan resapan air, ada yang menyebutkan bukan kawasan resapan air. Argumen-argumen tersebut tentunya semakin membingungkan pembuat keputusan. Padahal secara logika saja kota Bandung memerlukan kawasan lindung dan kawasan konservasi alami, dan Punclut yang merupakan kawasan tertinggi di kota Bandung paling tepat untuk maksud ini. Kita memerlukan air tanah, namun tak kalah penting kita juga memerlukan air permukaan, udara bersih dan lingkungan sehat yang akan diperoleh secara optimum bila daerah tangkapan hujannya di-konservasi atau dihijaukan.

Bukankah Pemerintah Kota Bandung bermaksud baik akan menata kawasan Punclut tersebut?
Memang kawasan Punclut ini seperti buah simalakama, dibiarkan semakin carut marut, ditata menuai konflik. Dimana letak masalahnya? Sebenarnya ada tiga opsi yang bisa dikaji lalu masing-masing dinilai dampaknya, dinilai berdasar analisis biaya dan manfaat serta analisis biaya dan efektivitasnya, dinilai untung dan ruginya bagi seluruh warga kota Bandung. Tiga opsi tersebut adalah pertama kawasan Punclut dibiarkan saja berkembang seperti apa adanya, kedua kawasan Punclut ditata oleh Pemerintah Kota bersama pengembang seperti yang tengah direncanakan saat ini, ketiga kawasan Punclut ditata menjadi kawasan konservasi oleh Pemerintah Kota bersama warga pemilik lahan dengan sertifikat yang sah istilah keren-nya “community based conservation area development”. Saat ini yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota adalah opsi kedua, yaitu menata kawasan Punclut bersama pengembang yang kemudian menuai pro dan kontra. Apalagi masih ada masalah kepemilikan lahan di kawasan Punclut ini, yaitu para pemilik sertifikat lama, yang sebagian adalah pejoang kemerdekaan, merasa adanya ketidak adilan oleh sebab pencabutan sertifikat tersebut oleh Menteri Agraria Soni Harsono pada sekitar tahun 1997. Para pemilik sertifikat lama ini merasa masih memiliki atas lahan di Punclut ini, yang notabene sekarang lahan-lahan ini tidak lain adalah lahan yang akan dikembangkan oleh pengembang. Pemilik sertifikat lama sekarang bergabung dalam wadah Keluarga Pencinta Punclut (KPP) yang bercita-cita bahwa kawasan Punclut harus menjadi kawasan hutan kota yang digarap bersama masyarakat setempat. Jadi akar masalahnya cukup komplek.

Adakah ketentuan-ketentuan yang menyangkut bahwa kawasan Punclut ini merupakan bagian dari kawasan lindung?
Pertama, disebutkan oleh Badan Perencanaan Daerah (BAPEDA) Propinsi Jawa Barat bahwa Punclut ini termasuk dalam Kawasan Bandung Utara (KBU). KBU adalah kawasan di bagian utara cekungan Bandung seluas 38.548 ha dengan batas utara dan barat adalah garis punggung yang menghubungkan puncak2 G. Burangrang, Masigit, Gedogan, Sunda, Tangkuban Perahu, Palasari dan Manglayang, sedangkan batas barat dan selatannya adalah garis ketinggian (kontur) 750 m di atas permukaan laut. Tentunya kawasan Punclut juga termasuk bagian dari KBU. Kedua, sejak tahun 1982 sampai dengan 1998, telah terbit ketentuan-ketentuan dalam rangka pelestarian KBU, paling tidak telah ada 6 Surat Keputusan dan Instruksi Gubernur Jawa Barat, dan 2 SK Menteri, yaitu dari Menteri Agararia/ BPN dan Menteri Negara LH/ Kepala Bapedal. Namun SK-SK tersebut rupanya tidak mempan sebagai benteng kelestarian konservasi KBU.

Apakah di dalam Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung disebutkan bahwa Kawasan Punclut ini termasuk kawasan lindung? Setelah otonomi daerah ini berlaku, maka Kabupaten dan Kota masing-masing menerbitkan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sendiri-sendiri yang umumnya tidak sejalan dengan Perda RTRW Propinsi. Sebagai contoh dikatakan dalam RTRW Propinsi (Perda 2/ 2003) bahwa KBU merupakan Kawasan Lindung, namun RTRW Kabupaten Bandung (Perda 12/ 2001) mengatakan bahwa KBU adalah kawasan tertentu, RTRW Kota Bandung (Perda 2/ 2004) mengatakan bahwa KBU adalah ruang terbuka hijau dan bahkan di kawasan Punclut sebagian diperuntukkan sebagai perumahan kepadatan rendah, bahkan RTRW Kota Cimahi (Perda 23/ 2003) mengatakan bahwa KBU ini diperuntukkan sebagai kawasan perumahan. Alhasil saat ini seluruh KBU yang luasnya 38.548 ha, 70% telah rusak dan tidak lagi berfungsi lindung. Sisanya yang 30%-pun saat ini terancam akan beralih fungsi bukan lagi sebagai kawasan lindung.

Apakah betul ada sinyalemen bahwa telah terjadi manipulasi peta pada proses penyusunan RTRW Kota Bandung? Pertanyaan ini memang telah menggelitik banyak pemerhati lingkungan dan beberapa media massa juga telah memuatnya. Hal inipun telah dimintakan klarifikasinya kepada panitia khusus (Pansus) penyusun Rancangan Perda RTRW ini di DPRD Kota Bandung periode yang lalu. Namun anggota Pansus ini malah heran juga mengapa lampiran peta yang diusulkan oleh Pansus berbeda dengan lampiran peta setelah resmi terbit menjadi Perda RTRW nomor 2 tahun 2004. Nampak dalam peta yang diusulkan oleh Pansus warna hijau kawasan lindung merupakan jalur hijau yang memanjang di bagian utara Kota Bandung, sedangkan dalam peta Perda yang telah resmi terbit nampak kawasan hijau ini berkurang dan namanyapun berubah menjadi ruang terbuka hujau, dan di kawasan Punclut terdapat warna kuning sebagai perumahan dengan kepadatan rendah.

Lalu bagaimana dengan pembangunan jalan Punclut-Dago yang saat ini telah dimulai oleh pengembang?
Mari kita baca Perda no. 2 tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandung lebih teliti. Tertulis amanah dalam pasal 100 ayat (2) butir b yaitu: tidak dibangun akses jalan baru melalui kawasan Punclut. Realitanya dengan alasan apapun juga Perda ini telah dilanggar, yaitu telah terjadi pembangunan atau pembuatan atau pelebaran jalan di Punclut dengan alat-alat berat semacam back-hoe dan bulldozer! Jadi memang benar ungkapan yang berbunyi begini: peraturan dibuat adalah untuk dilanggar!

Menurut anda apakah Perda RTRW Kota Bandung nomor 2 tahun 2004 ini bisa dilihat sisi positifnya?
Perda RTRW ini merupakan produk hukum yang amanah-amanahnya harus ditaati oleh seluruh warga. Walau tadi disebutkan masih tersimpan tanda tanya mengenai lampiran peta usulan Pansus yang berbeda dengan lampiran peta pada Perda yang resmi terbit, namun faktanya Perda ini telah diberlakukan. Sebenarnya banyak hal positif kalau dipatuhi, dalam Perda ini sudah banyak diatur tentang kawasan lindung dan konservasi agar Kota Bandung memiliki pelindung atau perisai terhadap kemungkinan ancaman bencana, baik ancaman bahaya geologi, iklim, lingkungan maupun ancaman bencana sosial. Silahkan dibaca pasal 13 yang mengamanatkan kebijakan tentang kawasan lindung. Peran masyarakat dalam penataan ruang harus diutamakan, seperti tertuang dalam pasal 106 hingga pasal 112. Sangat jelas amanat Perda pada pasal dan ayat tersebut bagaimana kawasan lindung harus dipulihkan untuk keselamatan kota dan kepentingan umum.

Adakah pasal dalam Perda Kota Bandung nomor 2 tahun 2004 ini yang perlu dikaji dan dibahas lebih lanjut?
Ya, ada. Antara lain seperti yang tertulis dalam pasal 70 ayat (1) butir a: penguasaan pada bidang-bidang tanah yang belum dilekati hak atas tanah pada kawasan lindung dapat diberikan hak atas tanah sesuai perundang-undangan yang berlaku, kecuali pada kawasan hutan. Akar masalahnya adalah bahwa kawasan lindung, baik di Punclut (maupun di kawasan Bandung Utara dan juga tentunya di kawasan Bandung Selatan) telah dimiliki baik oleh perorangan maupun oleh kelompok pengembang. Jadi di satu pihak kawasan lindung adalah untuk melindungi warga (bukan hanya melindungi warga di kawasan lindung tersebut saja, tetapi juga seluruh warga di sekitar dan bahkan seluruh warga kota), tetapi di pihak lain kawasan lindung ini dapat dimiliki secara perorangan. Akibatnya fatal, seperti yang kita lihat sendiri, telah terjadi penyelewengan-penyelewengan tata ruang yang dilakukan oleh pemilik lahan dan free rider di kawasan lindung tersebut yang bila dibiarkan dikhawatirkan dapat mencelakakan kehidupan di Kota Bandung. Kita alami saat ini bencana banjir perkotaan di musim hujan, kekeringan perkotaan di musim kemarau, dan bahkan ancaman tanah longsor telah menghampiri bagian utara kota. Walaupun PERDA no. 2 tahun 2004 ini telah memuat bab tentang ketentuan sanksi, yaitu dari pasal 114 hingga pasal 118, namun tetap saja pelanggaran-pelanggaran di kawasan lindung tetap saja terjadi hingga saat ini. Rupanya perihal perilaku aktivitas manusia di kawasan lindung ini secara tegas harus diatur khusus dalam Perda lain yang sampai saat ini dianggap tidak perlu, yaitu Perda tentang Kawasan Lindung.

Sebenarnya seberapa luas potensi kawasan Kota Bandung yang bisa dijadikan ruang terbuka hijau atau hutan kota?
Fakta dari citra satelit nampak RTH yang tersisa di Kota Bandung saat ini sangat minim sekali, kurang dari 1,5% luas kota, atau luasnya kurang dari 250 hektar! Padahal menurut PP No. 63 tahun 2002 tentang hutan kota, mengamanatkan bahwa luas hutan kota seharusnya minimum 10% dari seluruh luas kota. Kota Bandung memiliki luas sekitar 16.729 hektar, berada didalam cekungan topografi Bandung yang memiliki sifat alam sangat sensitif. Agar Kota Bandung terlindungi dari ancaman bencana lingkungan, maka perlu memiliki kawasan lindung dan konservasi. Mari kita lakukan inventariasi kawasan-kawasan yang berpotensi menjadi ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Bandung kita ini yang luasnya sekitar 16.729 hektar. Kalau kita baca buku Bandung Dalam Angka yang disusun oleh Bappeda Kota Bandung dan Badan Pusat Statistik, Kota Bandung memiliki sebanyak 490 taman kota dengan total luas 1.152.447,01 m2 atau hanya 115,25 hektar. Taman-taman kota tersebut terdapat di wilayah Bojonagara (65 taman seluas 88.189,35 m2), wilayah Cibeunying (127 taman seluas 610.213,95 m2), wilayah Tegalega (23 taman seluas 19.785,65 m2), wilayah Karees (62 taman seluas 291.783,32 m2), wilayah Ujung Berung (82 taman seluas 57.475,60 m2), dan Gedebage (131 taman seluas 84.999,14 m2). Andaikan penghijauan digalakkan secara demikian rupa demi pulihnya kawasan lindung Kota Bandung, bahkan sebenarnya Kota Bandung memiliki potensi RTH hingga 8.338,84 hektar atau 49,84% dari seluruh luas kota, melebihi yang dipersyaratkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) no 63 tahun 2002 tentang hutan kota yang mengamanatkan luas hutan kota minimum 10%. Potensi RTH di Kota Bandung ini adalah: jalur hijau (110,42 hektar), kuburan/ makam (124,00 hektar), RTH pada lahan pemakaman (132,70 hektar), jalur tegangan tinggi (29,57 hektar), jalur rel kereta api (55,45 hektar), hutan kota (17,79 hektar), kawasan konservasi (2.163,56 hektar), permukiman/ pekarangan rumah (4.849,01 hektar), perkantoran/ perdagangan (612,06 hektar), kawasan industri (244,29 hektar). Terlihat di sini bahwa potensi RTH terbesar adalah dari komplek permukiman/ pekarangan rumah yang mencapai hampir 29% dari luas kota, dan yang harus diprioritaskan adalah penghijauan di kawasan konservasi yang mencapai potensi seluas hampir 13% dari luas kota. Rincian kawasan konservasi ini berada di wilayah Bojonagara (384,00 hektar), wilayah Cibeunying (602,56 hektar), wilayah Ujung Berung (825,00 hektar) dan wilayah Gedebage (352,00 hektar).

Ada yang mengatakan bahwa kalau kawasan-kawasan yang potensial dijadikan hutan kota, maka warga disamakan dengan monyet?
Waah, maksudnya tentu saja tidak demikian! Di kawasan ketinggian, pada lahan dengan lereng terjal lebih dari 40% memang diupayakan dengan jenis pohon rimba, sedangkan pada lereng-lereng yang lebih landai berupa agroforest yang dieksploitasi bukan kayunya, tetapi buah-buahan, getah, madu, dan jasa lingkungannya, sedangkan di perkotaan ditanami hutan kota untuk estetika dan membangun iklim mikro. Aturan hutan kota ini bisa dipelajari dalam PP no. 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota. Sebaiknya konsepnya adalah the right tree in the right place, bukan jenis pohon impor atau ex-situ yang tidak cocok dengan iklim setempat. Sistem drainase alami di dalam komplek hutan kota ini harus dipelihara sejak mata air hingga anak sungai agar tidak terjadi longsoran pada lahan yang miring akibat pembendungan oleh batang pohon yang tumbang. Negara tetangga kita Singapura menerapkan konsep bahwa setiap jengkal lahan pada prinsipnya harus dihijaukan. Komponen kehidupan berupa permukiman, perkantoran, industri dipandang sebagai enclave yang berada di dalam suatu hamparan hutan kota atau hutan kawasan. Limbah dari enclave kawasan budidaya tersebut terlebih dahulu harus diproses dengan matang dan tidak dibuang langsung ke sungai-sungai sekitarnya. Saya sendiri bermimpi bagaimana mendisain Kota Bandung dengan konsep hutan kota sebagai unsur dominan, kalau dulu Kota Bandung di kenal sebagai garden city, mengapa tidak sekaligus sebagai jungle town? Kemudian KBU menjadi jungle area, Mungkin ada yang mengatakan ini sesuatu yang mengada-ada dan berlebihan, sangat ekstrim!. Tapi apa boleh buat, karena cekungan Bandung dan KBU ini sifat alamiahnya sangat sensitif, jadi benar-benar kelestarian alamnya harus dijaga dan dipulihkan serta perilaku warganya harus memiliki kearifan budaya lingkungan yang benar!

Dapatkah disimpulkan apa sebenarnya penyebab utama kerusakan di KBU?
Saya sangat setuju dengan pendapat Dr. Chay Asdak (Pikiran Rakyat, 19 November 2004) yang menyebutkan bahwa selama ini pola pengembangan ekonomi di kawasan Bandung Utara (KBU) terlalu berorientasi pada kepentingan ekonomi (pengusaha) dan bersifat kapitalistik/ industrialistik. Bentuk pengembangan usaha ekonomi yang umum dijumpai di KBU adalah hotel, restoran, perumahan (eksklusif), country club, bungalow, dan bentuk usaha ekonomi lain yang cenderung eksklusif dan telah meminggirkan kehidupan masyarakat lokal. Dalam diskusi-diskusi dengan teman-teman pemerhati lingkungan, kemudian muncul definisi tentang kerusakan lingkungan. Hasil diskusi menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan adalah konsekwensi alamiah dari kapitalisme, yaitu sistem ekonomi yang dianut oleh pemodal dengan money power-nya untuk meningkatkan keuntungan investasi mereka. Sejumlah kerusakan lingkungan kemudian dianggap hal yang sepele demi sehatnya ekonomi kapitalis. Kerusakan lingkungan adalah konsekwensi dari pilihan masyarakat konsumtif tingkat tinggi. Kerusakan lingkungan adalah produk kelemahan leadership birokrasi.***





No comments: