Thursday, May 03, 2007

JATIGEDE DAN HARI ANTI BENDUNGAN INTERNASIONAL


Pikiran Rakyat, Selasa 14 Maret 2006
Gambar: Sobirin, 2007


Menurut Sobirin, untuk membangun bendungan jelas harus dipikirkan segi positif-negatifnya. Bila segi negatifnya lebih banyak, mungkin membangun bendungan besar semacam Jatigede sama sekali tidak diperlukan.

Bendungan dinilai sebagai infrastruktur buatan yang sangat mahal. Sebanyak 56% projek bendungan salah dalam perkiraan biaya: terlalu tinggi menaksir keuntungan yang akan didapat dan terlalu rendah memperkirakan biaya yang akan keluar. Waduk Gajahmungkur contohnya. Waduk ini diprediksi berumur 100 tahun. Kenyataannya, karena sedimentasi, usianya ditaksir hanya 28 tahun..

TANGGAL 14 Maret 1997, sejumlah orang dari 20 negara berkumpul di Curitiba, Brazil. Mereka, sebutlah para korban bendungan, menyelenggarakan pertemuan internasional pertamanya untuk menentukan sikap. Tanggal itulah kini yang dijadikan orang dan diperingati serba terbatas sebagai "Hari Anti Bendungan Internasional". Soal itu relevan bagi kita kini sehubungan dengan akan dimulainya pembangunan Waduk Jatigede di Sumedang.

Mengapa relevan? Bahkan hingga kini, Waduk Jatigede masih diliputi sikap pro dan kontra. Yang pro umumnya mereka yang tidak tinggal di lahan Jatigede dan tanahnya akan terambil waduk. Yang pro jelas melihat manfaat waduk yang banyak. Waduk adalah sumber energi listrik yang dianggap paling ramah lingkungan. Bayangkan, berapa juta keluarga akan merasakan kenyamanan karena mengalirnya energi listrik ini ke rumah-rumah mereka. Berapa pula petani yang akan dihidupi karena aliran air keluar dari irigasi yang teratur. Belum lagi mereka yang bisa memanfaatkan genangan waduk untuk beternak ikan dan pariwisata. Begitu positifnya sehingga membangun waduk menjadi semacam pilihan favorit pemerintahan mana pun. Pada 1970, pembangunan waduk mencapai puncaknya. Sepanjang abad 20 diperkirakan lebih dari USD 2 triliun telah dibelanjakan untuk membangun bendungan di seluruh dunia. Saat ini, 1.500 waduk direncanakan akan di bangun di seluruh dunia. Pada 2003, 67% bendungan di seluruh dunia dibangun di Cina, Turki, Iran, dan Jepang. Meski begitu, hanya 19% total listrik dunia sebetulnya yang berasal dari tenaga air dan 150 negara saja yang menggunakannya.

Mereka yang kontra umumnya adalah korban. Mereka merasakan betul betapa rumah dan tanahnya akan hilang, mungkin juga pekerjaannya, sementara masa depannya masih belum jelas. Kelompok yang kontra menjadikan banyaknya korban sosial sebagai alasan utama kenapa pembangunan waduk harus ditolak.

Menurut The World Commission on Dam (WCD), saat ini terdapat 48.000 bendungan besar di seluruh dunia. Bendungan besar, kata The International Commission on Large Dams (ICOLD), adalah bendungan yang berketinggian di atas 15 m, atau berketinggian antara 5-15 m dengan air waduk lebih dari 3 juta m3. Bila setiap bendungan mengusir paling tidak 10.000 jiwa, total 500 juta jiwa terusir oleh bendungan.

Bagaimana dengan Jatigede? Lebih dari 7.000 kk (kepala keluarga) akan terusir dari Jatigede. Bila satu KK berisi 5 jiwa, maka akan ada 35.000 jiwa yang terpaksa hengkang. Mereka ini, jelas akan direlokasi. Sayangnya, relokasi yang sudah berjalan(misalnya di Garut dan Cianjur), tidak menjanjikan setidaknya kenyamanan yang sama dengan ketika mereka masih menghuni Jatigede.

Mereka yang kontra juga beralasan, bendungan akan membunuh sungai dan membinasakan ekosistem. Saat sungai tidak dibendung, aliran lumpur akan ikut turun ke hilir dan menyuburkan lahan petani. Tapi ketika bendungan dibuat, gizi baik yang terdapat dalam lumpur itu akan mengendap di dalam bendungan. Ditambah dengan zat beracun lainnya dari limbah dan sampah, juga makanan ikan, endapan itu bisa berdampak sebaliknya. Tengok saja kasus berulang berupa matinya berton-ton ikan di Waduk Saguling atau Jatiluhur yang terjadi karena lumpur yang mengendap terangkat ke permukaan.

Bendungan juga akan melenyapkan warisan budaya dan situs sejarah akan lenyap. Menurut Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Unpad/Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, M.S. sebanyak 25 situs arkeologi, kebanyakan makam kuna, akan lenyap. Situs-situs yang ada di wilayah ini sebagian merupakan peninggalan masa prasejarah (terlihat dari tradisi megalit yang ada), masa Kerajaan Tembong Agung/Sumedanglarang, dan sebagian lagi makam leluhur pendiri desa. Menurut penelitian arkeologi, peninggalan leluhur ini memperlihatkan adanya transformasi dari masa prasejarah (masa sebelum dikenal tulisan) ke masa sejarah (masa setelah dikenal tulisan). Jadi, makam kuna yang tergolong budaya megalit (batu-batu besar) itu adalah warisan prasejarah yang terus difungsikan pada masa sejarah.

Bendungan juga dinilai sebagai infrastruktur buatan yang sangat mahal. Sebanyak 56% projek bendungan salah dalam perkiraan biaya: terlalu tinggi menaksir keuntungan yang akan didapat dan terlalu rendah memperkirakan biaya yang akan keluar. Waduk Gajahmungkur contohnya. Waduk ini diprediksi berumur 100 tahun. Kenyataannya, karena sedimentasi, usianya ditaksir hanya 28 tahun saja.

Soal lainnya adalah perkara alam. Umum diketahui bahwa daerah tempat Jatigede dibangun termasuk dalam lintasan soft geology atau daerah rawan gempa bumi. Di daerah semacam itu sebaiknya waduk memang tidak dibangun. Waduknya mungkin saja tahan terhadap gempa, tapi daya dukung lingkungan sekitarnya belum tentu. Bendungan Teton di AS bisa jebol karena air mengikis pinggiran waduk. Padadal umurnya baru dua tahun. Sementara lereng Waduk Vaiont di Prancis longsor dan menutupi waduk. Di kedua tempat itu, bangunan waduknya hampir bisa dikatakan tidak rusak. Tapi waduknya jelas jadi tak berfungsi lagi.


Secara ekonomis, waduk juga nyaris kurang kemanfaatannya bagi masyarakat korban gusuran. Mereka yang tergusur mungkin sekali hanya berhak atas ganti rugi tanah yang belum tentu setimpal, rumah baru yang belum tentu juga memadai, dan masa depan yang belum jelas. Padahal, kalau mau, bisa saja mereka beroleh pensiun dari pemberdayaan tanahnya itu. Dengan kondisi semacam itu, apakah Indonesia juga akan menolak pembangunan waduk? Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) termasuk kelompok yang menyuarakan perlunya pemerintah membatalkan rencana Waduk Jatigede. Ketua Dewan Penasihat DPKLTS, Solihin GP bahkan sudah dua kali mengirimi Presiden SBY surat penolakannya itu. Permohonan pembatalan pertama dibuat tanggal 26 Oktober 2004 dan penolakan disampaikan tanggal 10 Mei 2005.
Menurut Anggota Dewan Pakar DPKLTS, Sobirin, penolakan itu disampaikan bukan atas dasar sikap yang anti bendungan. Menurut Sobirin, untuk membangun bendungan jelas harus dipikirkan segi positif-negatifnya. Bila segi negatifnya lebih banyak, mungkin membangun bendungan besar semacam Jatigede sama sekali tidak diperlukan.

Yang harus dipikirkan juga adalah, DAS Cimanuk sebagai pemasok air Jatigede, saat ini sedang dalam keadaan kritis karena rusaknya lingkungan. Dalam keadaan semacam itu, prioritas utamanya adalah memperbaiki lingkungannya untuk menormalkan pasokan air. "Seharusnya, perbaiki lingkungannya.


Solusinya bukan membuat ember, tapi perbaiki yang bocornya," kata Sobirin. Untuk urusan memperbaiki lingkungan ini, biayanya jelas lebih murah ketimbang membuat bendungan. (Rahim Asyik/"PR")***

No comments: