Saturday, May 05, 2007

KONSEP MEGAPOLITAN ANCAM EKSISTENSI PERKEBUNAN

Pikiran Rakyat, 04 Februari 2006

Foto: Kodar Solihat, Pikiran Rakyat, 2006, Perkebunan bisa terancam Megapolitan
Meneg BUMN, ”Kami tak Akan Melepas Sejengkal pun”


Tergusurnya areal perkebunan, berdasarkan pengalaman ternyata tak membawa manfaat bagi masyarakat lokal. Keterangan senada dilontarkan Anggota Dewan Pemerhati Lingkungan dan Kehutanan Tatar Sunda (DPLKS), Sobirin.


BANDUNG, (PR).-
Puluhan ribu hektare areal perkebunan di Jawa Barat terancam tergusur, jika dua wilayah terutama Kab. Bogor dan Kab. Cianjur, tercaplok Pemprov DKI Jakarta dalam kaitan konsep megapolitan. Lahan perkebunan tersebut menjadi rawan incaran untuk dijadikan pembangunan permukiman, kawasan bisnis, industri, dan perkantoran.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perkebunan (GPP) Jabar-Banten, Dede Suganda Adiwinata mengatakan hal itu kepada "PR" di Bandung, Jumat (3/2).

Dikatakan, berdasarkan berbagai pengalaman, terutama konsep Jabotabek tahun awal dan akhir tahun 1990-an, lahan perkebunan di Kabupaten Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang, "dikorbankan" untuk kepentingan pengembangan kota. Saat itu, sedikitnya 20 unit perkebunan milik negara (PTP XI) dan swasta, digusur untuk kepentingan pengembangan kota.

"Ironisnya, penggusuran sejumlah lahan perkebunan tersebut malah berefek negatif, bagi lingkungan Jabotabek dan Jabar sendiri. Ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) atas ratusan ribu orang karyawan perkebunan sudah jelas. Selain itu, sering muncul banjir dan berkurangnya sumber mata air bagi warga," jelasnya.

Menurut Dede, sejak lama kawasan perkebunan di Bogor dan Cianjur (terutama daerah puncak dan wilayah lain yang berdekatan dengan Jakarta) menjadi incaran "mafia" tanah. Ini bukan hanya untuk kepentingan pembangunan permukiman mewah, namun belakangan ada indikasi untuk dibangun tempat hiburan, misalnya tempat judi.
Di Bogor dan Cianjur terdapat puluhan unit perkebunan, yang sekira 10 unit di antaranya berdekatan atau berada pada jalur ke Jakarta. Sebagian lahan perkebunan ada yang sengaja dijarah, yang kemudian dijual secara tak sah.

"Diduga kuat, pihak-pihak yang mengincar areal perkebunan itu menggunakan berbagai cara, termasuk jalur birokrasi, agar lahan yang diinginkan akhirnya dilepas pihak perkebunan. Soalnya, belakangan ini manajemen perkebunan negara (PTPN VIII) dan pihak swasta pun, tegas-tegas menolak lahan mereka dialihfungsikan," ujar Dede.

Tergusurnya areal perkebunan, berdasarkan pengalaman ternyata tak membawa manfaat bagi masyarakat lokal. Keterangan senada dilontarkan Anggota Dewan Pemerhati Lingkungan dan Kehutanan Tatar Sunda (DPLKS), Sobirin. Ia sebelumnya menyebutkan, pengembangan areal kota memang sangat rawan mengincar lahan perkebunan dan kehutanan.
"Apa kita belum mau belajar juga dari pengalaman? kejadian banjir di Jakarta dan sekitarnya, akibat kerusakan atau tergusurnya lahan perkebunan dan kehutanan," katanya.

Yang kini paling dirasakan, adalah efek kerusakan sebagian lahan Perkebunan Gunung Mas yang dijarah atau dijual secara tak sah oleh pihak lain untuk dijadikan bangunan. Padahal, areal perkebunan itu merupakan salah satu sumber mata air dan daerah resapan Sungai Ciliwung, yang melintasi Bogor dan Jakarta.

Harus dipertahankan
Sementara itu, Meneg BUMN, Sugiharto, sebelumnya juga melontarkan tekad, untuk mempertahankan lahan perkebunan negara di seluruh Indonesia dari ancaman alihfungsi lahan. Ini terutama di wilayah Jabar, di mana eksistensi lahan perkebunan termasuk paling rawan, karena berdekatan dengan Jakarta.
"Kami tak akan melepas sejengkal pun lahan perkebunan. Kelestarian lahan perkebunan, terutama BUMN, merupakan aset berharga yang harus dipertahankan, karena memiliki arti dan peran penting bagi negara," tegasnya, saat mengunjungi kantor direksi PTPN VIII di Bandung, pekan lalu. (A-81) ***

No comments: