Tuesday, May 01, 2007

MENCERMATI MINIMNYA STANDAR KESELAMATAN PEKERJA TAMBANG DI BERBAGAI DAERAH


Menyusul tewasnya 11 pekerja tambang pasir Cipatat Bandung Jabar
Radio ELSHINTA, Diskusi Interaktif, 15 Mei 2006
Pembawa Acara: Suwiryo
Foto: Sobirin, 2004, Galian C Gunung Tampomas, Sumedang


Sesi Pertama
Narasumber : Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), Sobirin

Minimnya standard keselamatan pekerja tambang di berbagai daerah masih sangat memprihatinkan. Sebagai contoh Minggu kemarin 11 pekerja tambang pasir di Cipatat Bandung Jawa Barat tewas tertimbun longsoran tanah.
Sobirin
berpendapat banyaknya peristiwa longsor penggalian yang banyak menyebabkan para pekerjanya tewas dikarenakan tidak adanya konsep penggalian yang selama ini tidak memenuhi syarat sehingga banyak menimbulkan jatuhnya banyak korban.

Sobirin juga menyayangkan banyaknya para penambang Golongan C yang tidak mengikuti aturan yang ada, sehingga resiko keselamatan yang ditimbulkan dari aktivitas tambang itu sangatlah minim. Padahal, menurut Sobirin, dari Dinas Lingkungan Hidup itu sendiri sudah melakukan pembinaan terhadap para pengusaha yang akan melakukan penambangan. Namun sayangnya hal tersebut tidak diterapkan dilapangan. Faktor yang lain adalah tidak adanya pengawasan dari dinas terkait bagi aktivitas tambang itu sendiri.
Ia menjelaskan, yang menjadi keprihatinan kita terhadap berbagai masalah yang ditimbulkan dari penggalian yang sering menimbulkan korban jiwa adalah proses perijinan dan pengawasan terhadap aktivitas penggalian. Sebab, lanjutnya, biasanya para pengusaha akan selalu mencari celah dan menyiasati bahkan mengakali agar ijin penggalian tersebut dikeluarkan, bahkan dengan berbagai dalih seperti demi kepentingan masyarakat yang membutuhkan pekerjaan.
Oleh karenanya, lebih lanjut Sobirin mengungkapkan, untuk menghindari jatuhnya korban dan rusaknya alam dari aktivitas penggalian itu, maka perlu adanya sinergi antara Depnaker dan Dinas Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, baik dari tingkat daerah maupun pusat untuk menata kembali konsep pertambangan atau penggalian dari berbagai golongan penggalian demi terciptanya keselamatan kerja dan keseimbangan alam yang ditimbulkan dari pertambangan itu sendiri.

Sesi Kedua
Narasumber : Direktur WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Propinsi Jawa Barat, Deni Jasmara

Deny mengatakan, mudahnya perijinan yang diperoleh para pengusaha tambang menjadi salah satu sebab sering terjadinya musibah dalam pertambangan. Selain itu, ujarnya, juga rusaknya keseimbangan alam, padahal prosedur perijinan harus memperhatikan berbagai aspek, baik aspek keselamatan pekerja atau aspek alamnya dan sayangnya lagi tidak adanya pengawasan, pemantauan dan pengendalian.
Hal itu semua terjadi, menurut Deny, dikarenakan orientasi para pengusaha yang hanya memikirkan kepentingan ekonomi tanpa memperhatikan faktor sosial dan lingkungan. Sehingga rakyat jugalah yang menanggung kerugian.
Deny menambahkan, problem moral aparat keamanan selalu menjadi sebab atas berbagai penyimpangan dalam proses perijinan pertambangan yang kerap kali menyalahi aturan. Selain itu, ungkapnya, tidak adanya keinginan pemerintah untuk perbaikan lingkungan, padahal kesadaran masyarakat terhadap lingkungan sudah sangat baik.

Sementara itu, pendengar ELSHINTA dari Depok, Waluyo menilai Pemda dan Depnaker bertanggung jawab terhadap pengawasan dan perijinan pertambangan.
Pendengar ELSHINTA dari Jakarta, Lena berpendapat, yang paling bertanggung jawab terhadap keselamatan pekerja adalah perusahaannya itu sendiri, apa lagi sudah ada manajeman keselamatan kerja.
Pada kesempatan yang sama, pendengar lainnya dari Lampung, Sumardi berharap agar para pengusaha selain bertanggung jawab terhadap keselamatan pekerja juga harus bertanggung jawab terhadap lingkungan sebagai dampak penggalian tersebut, jangan sampai meninggalkan lokasi tambang begitu saja tanpa adanya perbaikan terhadap lingkungan itu.

No comments: